INDEPENDENSI HAKIM KAITANNYA DENGAN KEMANDIRIAN HAKIM DALAM UU KEKUASAAN KEHAKIMAN (UUKK), UU MAHKAMAH AGUNG (UUMA), UU MAHKAMAH KONSTITUSI (UUMK), UU KOMISI YUDISIAL (UUKY)

Oleh:
Muhammad Mubarak C.P.

Hasil gambar untuk hakim

Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita Negara hukum. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik dan ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan.[1]

Sesungguhnya prinsip independensi bukanlah merupakan satu prinsip yang berdiri sendiri. Independensi hakim tersebut dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartility) dan keterputusan relasi dengan aktor politik (political insularity)[2]. Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, di mana hal itu hanya dapat dilacak dari perilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial atau hubungan politik.[3]

Independensi Kekuasan Kehakiman setidak-tidaknya mempunyai dua aspek yaitu:[4]

  1. Dalam arti sempit, independensi kekuasaan kehakiman berarti “independensi institusional” atau dalam istilah lain disebut juga “independensi struktural” atau independensi eksternal” atau “independensi kolektif”.  Independensi institusional memandang lembaga peradilan sebagai suatu institusi atau struktur kelembagaan, sehingga pengertian independensi adalah kebebasan institusi atau lembaga peradilan dari pengaruh lembaga lainnya, khususnya eksekutif dan legislatif.
  1. Dalam arti luas “independesi kekuasaan kehakiman meliputi juga “independensi individual”  atau “independensi internal” atau “independensi fungsional’ atau “independensi normatif”. Pengertian independensi personal dapat dilihat juga dari setidak-tidaknya 2 sudut, yaitu:  a) Independensi personal, yaitu independensi seorang hakim terhadap pengaruh sesama hakim atau koleganya; b) Independensi substantif, yaitu independensi hakim terhadap kekuasaan manapun, baik ketika memutuskan suatu perkara maupun ketika menjalankan tugas dan kedudukannya sebagai hakim.

Independensi individual meletakkan hakim sebagai titik sentral dari seluruh  pengertian independensi, yaitu kebebasan dari segala pengaruh dari luar apapun bentuknya.

Suatu yang merdeka mesti lepas dari pengaruh sesuatu, termasuk lepas dari pengaruh pemerintah. Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti lepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan lain, tidak hanya lepas dari pengaruh pemerintah.[5]

Independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia dijamin dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan”. Jaminan konstitusional (constitutional independence) ini diimplementasikan melalui beberapa pengaturan terkait independensi hakim dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UUKK), UU Mahkamah Agung (UUMA), UU Mahkamah Konstitusi (UUMK), UU Komisi Yudisial (UUKY) sebagai berikut:

A. INDEPENDENSI HAKIM DALAM KAITANNYA DENGAN KEMANDIRIAN HAKIM DALAM UU KEKUASAAN KEHAKIMAN

Dalam Pasal 1 UU R.I. Nomor 4 tahun 2004 jo Pasal 1 angka 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Kekuasaan  kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi  terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari  campur  tangan  pihak-pihak  di  luar  kekuasaan  kehakiman  untuk menyelenggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum.[6] Oleh karenanya dalam Pasal 4 ayat (3) UU R.I. Nomor 4 tahun 2004 jo Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

B. INDEPENDENSI HAKIM DALAM KAITANNYA DENGAN KEMANDIRIAN HAKIM DALAM UU MAHKAMAH AGUNG

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan tertinggi di Indonesia (prime power). Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia[7].

Peran Mahkamah Agung dapat kita temukan dalam Pasal 2 UU 14/1985 yang berbunyi:

“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”

Di dalam penjelasan umum UU No. 3 tahun 2009 dikatakan pula bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Oleh karenanya itu, Kekuasaan kehakiman dibawah Mahkama Agung, diakui sebagai kekuasaan yang harus independen (merdeka) dari berbagai anasir, intervensi, maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.

Kebebasan dan kemandirian hakim (A freedom and independency judiciary) harus diwujudkan secara konkrit, walaupun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Mekanisme check and balances, check and control harus didorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power blocks. Pemindahan kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dalam aspek organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan ke Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1995), tanpa diikuti dengan perubahan sistem pengawasan yang baik terhadap pelaksaan kekuasaan kehakiman, terdapat peluang besar bagi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh Mahkamah Agung.[8]

C. INDEPENDENSI HAKIM DALAM KAITANNYA DENGAN KEMANDIRIAN HAKIM DALAM UU MAHKAMAH KONSTITUSI

Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memisahkan antara kekuasaan kehakiman dalam ranah peradilan umum dengan peradilan perlindungan konstitusionalitas.[9] Peradilan umum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Sedangkan peradilan konstitusionalitas dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di luar Mahkamah Agung.

Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sesuai dengan Pasal 2 UU No. 24 tahun 2003 bahwa “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or legislation, sedangkan Mahkamah Agung menguji the legality or regulation.[10] Sehingga pengujian undang-undang dibagi ke dalam dua kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Prinsip independensi yang termuat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi telah peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/pmk/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi kode etik dan perilaku hakim Konstitusi bahwa:[11]

“Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.”

DINDEPENDENSI HAKIM DALAM KAITANNYA DENGAN KEMANDIRIAN HAKIM DALAM UU KOMISI YUDISIAL

Kehadiran Komisi Yudisial  (KY) berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan ke IV. Pasal 24 B menjadi dasar hokum kelahiran KY yang dalam tugas pokoknya mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kedua kewenangan ini merupakan landasan yang dijiwai oleh semangat terjadinya check dan balances, saling mengimbangi dan saling kontrol di antara lembaga yang ada, termasuk Mahkamah Agung.[12]

Jika Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak hukum, maka Komisi Yudisial adalah lembaga yudikatif yang bersifat penunjang terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics).

Pada pasal 2 UU No. 22 tahun 2004 bahwa “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya”.

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman[13] yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya, yang berkedudukan di Jakarta.[14]

Berhasil tidaknya suatu Komisi Yudisial ini tidaklah diukur karena banyaknya hakim yang dipecat, melainkan tugas Komisi Yudisial adalah untuk mengembalikan spirit independensi kekuasaan kehakiman agar sesuai dengan spirit untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Daftar Referensi:

[1] Jimly Asshiddiqie, 2007. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada). hlm. 317.

[2] Herbert Jacob. 1971. Court, Law and Politics in Comparative Perspective. Scranton: Chandler Publishing Company dalam Ahmad Mujahidin. 2007. Peradilan Satu Atap di Indonesia. (Bandung: Refika Aditam). hlm. 53

[3] Ibid.

[4] Tim Peneliti KY RI. 2009. PROFESIONALISME HAKIM :Studi Tentang Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dalam Perkara Perdata dan Pidana di Indonesia. Jakarta: Komisi Yudisial. Hlm. 23-24

[5] Bagir Manan. 2007. Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No.4 Tahun 2004. (Yogyakarta: FH UII press,). hlm. 27

[6] Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, edisi keempat, Agustus. hal.18.

[7] Lihat UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 Angka (1)

[8] Abdul Manan, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia” majalah hukum USU,Februari 2004.hlm.121

[9] Feri Amsari,Perubahan UUD 1945, Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 160.

[10] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi, dalam Pusat Studi Konstitusi FHUA, Perkembangan Pengujain Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi dalam Jurnal Konstitusi,Vol. 7 No. 6, Desember 2010, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,hlm. 5

[11] Lihat KODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (Sapta Karsa Hutama) terkait peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 09/pmk/2006 tentang pemberlakuan deklarasi kode etik dan perilaku hakim konstitusi

[12] Tutik Triwulan Titik, 2007, Eksistensi Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Hlm 95.

[13] Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

[14] Lihat Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Tinggalkan komentar